Keranjang Belanja Anda
Total Barang:
SubTotal:
Biaya Kirim akan dikonfirmasi
Total tanpa biaya kirim:
Tampilkan postingan dengan label majalah sakinah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label majalah sakinah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Mei 2010

Majalah Asy-Syariah Edisi No.50/IV/1430 H/2009, dan Sakinah: Berlebih-Lebihan Dalam Ber Islam

Majalah Asy-Syariah Edisi No.50/IV/1430 H/2009, dan Sakinah: Berlebih-Lebihan Dalam Ber Islam

Judul: Majalah Asy-Syariah Edisi No.50/IV/1430 H/2009, dan Sakinah
Berlebih-Lebihan Dalam Ber Islam
Penerbit: Oase Media (Majalah Asy-Syariah)
Tebal: 96 halaman
Fisik : 16 cm x 24 cm, uv, hard cover
Harga: Rp 9.500
Dienul Islam adalah ajaran yang diturunkan dari sisi sang Khaliq yang telah menciptakan langit dan bumi berikut segala isinya. Sehingga Allah ~N adalah Dzat yang Maha Mengetahui sebatas mana kernampuan dan kekuatan manusia. Oleh karena itu, Allah A pun menetapkan syariat sesuai kemampuan mereka.
Islam tidaklah menghendaki kesukaran namun justru datang dengan membawa kemudahan. Syariat-syariatnya selaras dengan fitrah sehingga mudah untuk dijalankan. Allah pun masih memberikan keringanan bagi hamba-hamba-Nya ketika tengah menghadapi kondisi tertentu, seperti safar, haid, hamil dan menyusui, nifas, ataupun sakit.
Islam juga bukan ritual penyiksaan diri. Islam menekankan untuk menikah dan melarang praktik selibat (membujang) sebagaimana hal ini dilakoni pemuka agama Katholik. Islam mensyariatkan puasa namun juga melarang melakukannya setiap hari secara terus-menerus tanpa berhenti. Bahkan Islam mengiringinya dengan perintah untuk menyegerakan berbuka ketika telah tiba waktunya. Demikian juga Islam menggarisbawahi pentingnya shalat malam, namun melarang melakukannya semalam suntuk.
Mengapa? Karena ibadah dalam Islam bersifat tauqifiyyah. Artinya, sudah paten, tidak boleh kita menambah-nambahi atau mengurang-ngurangi dari apa yang telah dicontohkan melalui praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tidak ada celah bagi kita untukmembuat tata cara baru bahkan bentuk baru dalam beribadah. Baik buruknya ibadah juga bukan ditakar dari banyak sedikitnya, namun keikhlasan dan ada/tidaknya contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sehingga Islam tidaklah sulit dan tidak mempersulit, karena kita tinggal mencontoh praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Sehingga, beragam ritual ibadah walaupun menggunakan simbol-simbol Islam tidaklah bisa disebut bagian dari Islam selama tidak ada riwayat yang shahih yang menyebut adanya praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya.
Itulah Islam yang mudah dan sederhana. Sayangnya, gambaran kemudahan yang diusung Islam itu tercoreng oleh praktik-praktik menyimpang yang dilakukan sebagian pemeluknya. Islam pun tercitrakan sebagai agama yang memberatkan, baik dari sisi amaliah maupun yang terkait dengan materi.
Contoh sederhana, adalah ritual-ritual tertentu pasca kematian. Keluarga yang ditinggalkan, sebagai pihak yang seharusnya diringankan bebannya, justru menjadi pihak yang dibebani beragam "tradisi": la harus mempersiapkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit untuk penyelenggaraan ritual-ritual 7 hari, 40 hari, 100 hari, satu tahun, dua tahun, 1.000 hari, khaul, dst, yang sejatinya semua itu bukan dari Islam.
Selain amaliah, di tengah umat juga muncul beragam keyakinan yang rusak. Yakni sikap berlebihan yang ditujukan kepada nabi, rasul, wali Allah, atau orang-orang yang (menurut mereka) dianggap wali Allah. Alhasil, sikap ini pun menyeret pada perbuatan syirik, suatu perbuatan yang paling ditentang dalam Islam.
Kebalikan dari itu semua, muncul sikap meremehkan syariat. Syariat ditinggalkan dan lebih memilih pemikiran-pemikiran di luar Islam. Syariat dinistakan, dibenturkan dengan akal manusia yang terbatas, sehingga ujungujungnya syariat Islam dikesankan sebagai nilai atau tatanan yang sulit diterapkan di zaman yang konon dianggap modern ini.
Maka dari itu, syariat mesti dipelajari dengan jernih dan penuh kesungguhan, jangan sampai sikap melampaui batas dalam agama ini mengganas, yang akhirnya menggerogoti pemahaman kitayang Iurus.Alhasil, kita hanya beroleh kesia-siaan karena dilalap sikap yang membinasakan ini. Islam adalah agama yang mudah karena itu janganlah berlebih-lebihan dalam mengamalkannya.
Add to Cart More Info

Majalah Asy-Syariah Edisi No.49/IV/1430 H/2009, dan Sakinah: Mau Kemana Partai Islam?

Majalah Asy-Syariah Edisi No.49/IV/1430 H/2009, dan Sakinah: Mau Kemana Partai Islam?

Judul: Majalah Asy-Syariah Edisi No.49/IV/1430 H/2009, dan Sakinah
Mau Kemana Partai Islam?
Penerbit: Oase Media (Majalah Asy-Syariah)
Tebal: 96 halaman
Fisik : 16 cm x 24 cm, uv, hard cover
Harga: Rp 9.500

Umat Islam belumlah lupa, beberapa waktu silam pascareformasi, kala hendak memilih pemimpin negeri ini, sebuah fatwa diteguhkan oleh sejumlah partai politik (parpol) Islam, "haram memilih pemimpin wanita". Namun beberapa waktu kemudian, "fatwa" itu dimentahkan kembali. Bak bola salju, perkara ini terus menggelinding dan membesar. Hingga pada pemilihan kepala daerah (pilkada), tak cuma soal wanita, sejumlah parpol Islam bahkan sudah tidak malu mendukung kepala/wakil kepala daerah non-muslim.
Itulah sebuah ironi bernama politik yang dipertontonkan kepada umat. Politik nyata-nyata tak hanya mengubah lawan menjadi kawan atau sebaliknya, tapi terbukti bisa membongkar pasang syariat sekehendak hati. Dewan syuro partai bukan mengawal syariat namun justru menjadi stempel untuk melegalisasi penyimpangan syariat. Loyalitas tidak lagi dibangun di atas Al-Qur'an dan As Sunnah namun oleh fatwa Dewan Syuro, AD/ART parpol, bahkan sekadar ucapan tokoh sentralnya.
Makanya menjadi"maklum" jika ada fenomena caleg non-muslim, koalisi dengan parpol nonmuslim ataupun sekuler, dsb, karena kamus politik memang menghalalkannya. Juga tak perlu heran jika ada pengurus partai yang kelabakan, ketika partainya dituding anti yasinan, tahlilan, barzanji, dsb. Minder disebut partai Islam yang eksklusif, kemudian tergopoh-gopoh menyatakan bahwa partainya plural, inklusif, bahkan menampilkan kesan nasionalis. Lebih takut kehilangan suara daripada menampakkan al-haq, lebih khawatir simpatisan lari ketimbang mendapat murka Allah. Na'udzubillah.
Lagi-lagi sebuah ironi. Di panggung politik, mereka bisa mesra dengan kalangan orang kafir, para preman dan ahli maksiat, para penyembah kubur, dll, namun di balik itu mereka justru menebar kebencian kepada dakwah yang mengajak kepada kemurnian Islam. Islam yang diusung sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabatnya justru dianggap memecah-belah umat. Sementara mereka sendiri tidak mau berkaca diri bahwa dengan partai mereka telah membuat umat terkotak-kotak, membuat umat berloyalitas kepada partai bukan kepada IsIam.Alhasil, fenomena saling aniaya dan membunuh hanya karena beda partai, tak pernah dianggap memecah-belah umat.
Yang memilukan kemudian, umat malah disodori "fatwa" haram golput. Ini sama saja orang yang tidak memilih karena paham akan kemungkaran-kemungkaran demokrasi divonis "berdosa": Na'udzubillah. Di saat umat dilingkupi pemahaman agama yang jauh dari Islam yang murni, umat justru disuguhi politikus-politikus bodoh yang hanya pandai bertutur dan nampak santun tapi lancang mengaduk-aduk agama untuk kepentingan politikpraktis. Konyolnya lagi,adayang malah menganggap berdemokrasi sebagai bagian dari jihad: Begitu mudahnya menggunakan istilah jihad, sama mudahnya saat mereka menggelari tokoh ideologis mereka dengan asy-syahid.
Yang disayangkan tentu, masih saja ada kaum muslimin yang bisa dibodohi sedemikian rupa. Padahal orang-orang yang fanatik partai itu hanya menggunakan jaring laba-laba sebagai pijakan. "Dalil"-nya, itupun kalau bisa disebut dalil, sangat lemah dan klasik. "Kita sudah berada dalam sistem yang mau tidak mau kita harus ikut. Kalau kita tidak memilih partai Islam, maka kekuasaan akan berada di tangan orang-orang kafir:"
"Si parpol" ini bisa jadi memang tak mau berkaca. Bagaimana mungkin mereka berkoarkoar mau memenangkan Islam sementara mereka justru mengangkat caleg non-muslim, mengusung pasangan kepala daerah yang salah satunya nonmuslim, berkoalisi dengan parpol non-Islam, dan seabrek pelanggaran syariat lainnya. Bagaimana pula jika pemerintah yang berkuasa atau parlemen dikuasai muslim tapi bukan dari kader partainya atau hasil "tarbiyah" mereka, atau taruhlah pemerintah yang berkuasa telah menegakkan sebagian dari syariat Islam, apakah mereka mau berhenti? Jawabnya, tentu saja tidak.
Makanya jangan pernah tertipu mereka yang bergelut dengan parpol, dianggap telah berbuat sesuatu untuk umat sementara yang berkiprah di luar itu tak memberikan kontribusi apapun bagi umat. Padahal kesibukan mereka dalam ingar-bingar politik justru menjadikan mereka melalaikan perbaikan umat. Bahkan perbaikan diridiri mereka sendiri. Adanya petinggi parpol "Islam" yang percaya angka hoki serta banyaknya politikus muslim yang terlibat skandal amoral serta jauh dari akhlak Islam adalah contoh nyata.
Oleh karena itu, jangan pernah terselip asa, melalui sistem demokrasi, umat Islam bisa meraih kejayaannya. Melalui sistem politik kotor hasil adopsi filsafat Yunani, kemuliaan Islam dan muslimin bisa kita tegakkan.Tak bakal ada kebaikan yang dibangun di atas kemungkaran. Yang ada hanyalah pertanyaan, "Mau kemana partai Islam?"
Add to Cart More Info

Majalah Asy-Syariah Edisi No.48/IV/1430 H/2009, dan Sakinah: Meraih Ridha Ilahi Dengan Safar Syar-i, Hukum-hukum Seputar Safar

Majalah Asy-Syariah Edisi No.48/IV/1430 H/2009, dan Sakinah: Meraih Ridha Ilahi Dengan Safar Syar-i, Hukum-hukum Seputar Safar

Judul: Majalah Asy-Syariah Edisi No.48/IV/1430 H/2009, dan Sakinah
Meraih Ridha Ilahi Dengan Safar Syar'i, Hukum-hukum Seputar Safar
Penerbit: Oase Media (Majalah Asy-Syariah)
Tebal: 96 halaman
Fisik : 16 cm x 24 cm, uv, hard cover
Harga: Rp 9.500

Makin mudahnya sarana Dan alat transportasi dewasa ini tentu menjadi hal yang patut disyukuri. Jika dahulu orang bepergian dalam hitungan tahun atau bulan, sekarang kita bisa menempuh perjalanan terjauh di muka bumi ini hanya dengan satuan hari atau jam. Namun demikian, seiring dengan kemudahan yang dikaruniakan Allah kepada kita, tidaklah lantas membuat kita mengabaikan adab-adab safar (bepergian) yang telah dituntunkan syariat.
Sekarang saja, banyak wanita yang bermudah-mudah bepergian ke luar daerah tanpa didampingi mahram dengan alasan jarak tempuh yang dekat atau lama perjalanan yang singkat. Istri keluar kota bahkan ke luar negeri sendirian bukanlah sesuatu yang aneh. Istri kemana-mana hanya ditemani sopir pribadi, sudah biasa. Demikian juga dengan anak gadis, yang dibiarkan pergi kemana pun sendirian atau ditemani kekasihnya, sudah menjadi hal lazim bagi orangtua di zaman sekarang.
Padahal hal-hal demikian jelas-jelas akan membuka pintu-pintu kerusakan. Jika terjadi hal terburuk seperti kehancuran rumah tangga dengan sebab perselingkuhan atau karena kehamilan 'yang tak dikehendaki; yang paling merasakan nestapa tak lain adalah wanita.
Namun menjadi ironi, aturan syariat yang diciptakan untuk mencegah kerusakan di antara anak manusia ini justru hendak dienyahkan. Keharusan wanita safar disertai mahram malah dianggap mengekang kebebasan wanita. Bahkan yang memilukan syariat ini dinistakan dan disempitkan dengan dianggap puritan.
Padahal jika kita mau menyadari, aturan ini justru hendak menjaga serta melindungi kehormatan wanita. Lebih lebih di masa sekarang. Jangankan di luar kota, wanita saat ini bahkan sudah tidak aman di kotanya sendiri. Dengan kelemahan fisik dan akalnya, wanita menjadi obyek yang sering disasar pelaku tindak kejahatan. Wanita yang lemah, gampang dipengaruhi, dibujuk dan dirayu, menjadi bulan-bulanan aksi-aksi penipuan, gendam, kejahatan seksual, hingga perdagangan manusia. Ini belum termasuk kekerasan fisikseperti penodongan dan pejambretan.
Oleh karena itu, kasus demi kasus yang menimpa Tenaga Kerja Wanita (TKW) seharusnya juga kita lihat dari sudut berbeda. Kekerasan dengan segala bentuknya yang menimpa TKW kita memang tak bisa dibenarkan. Namun demikian ada perkara yang semestinya kita teropong dengan optik syariat.
Termasuk dalam hal ini adalah praktik ibadah haji. Ibadah yang bernilai agung tersebut juga tak luput dari penyimpangan adab, dengan apa yang diistilahkan mahram "angkat" atau "titip" : Sedikit melebar, kita juga acap menjumpai safar yang penuh dengan aroma kesyirikan. Tak lain adalah ziarah kubur yang ditujukan ke makam orangorang yang dianggap wali, setengah wali, dan yang semacamnya.
Contoh penyimpangan di atas seharusnya membuat kita menelaah kembali bagaimana safar yang telah kita praktikkan. Tidakkah kita mau meraih ridha Ilahi dengan safar syar'i? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.
Add to Cart More Info

Majalah Asy-Syariah Edisi No.47/IV/1430 H/2009, dan Sakinah: Mengenal Hukum Waris

Majalah Asy-Syariah Edisi No.47/IV/1430 H/2009, dan Sakinah: Mengenal Hukum Waris

Judul: Majalah Asy-Syariah Edisi No.47/IV/1430 H/2009, dan Sakinah
Mengenal Hukum Waris
Penerbit: Oase Media (Majalah Asy-Syariah)
Tebal: 96 halaman
Fisik : 16 cm x 24 cm, uv, hard cover
Harga: Rp 9.500
Tak bisa dipungkiri, perkara warisan menjadi salah satu hal paling sering yang melatarbelakangi banyak peristiwa pembunuhan yang terjadi di sekitar kita. Belitan kebutuhan hidup telah membutakan mata hati manusia sehingga ia pun tega dan dengan entengnya menumpahkan darah saudaranya.
Rasa dengki dan subyektivitas yang tinggi dalam menakar permasalahan ini telah membenamkan akal sehat dalam lumpur emosi. Aturan agama diabaikan kalau tidak mau disebut dicampakkan. Alhasil, "keadilan"; karena kuat dipengaruhi ego, tidak bisa menyentuh semua pihak. Selalu ada pihak-pihak yang merasa dirugikan atau dizalimi.
Padahal Allah melalui syariat-Nya yang mulia telah mengatur dengan cukup rinci cara-cara menghitung warisan. Sehingga itu sudah sangat memadai dijadikan acuan bagi orang yang hendak mewariskan ataupun para ahli warisnya. Sehingga apapun jika sudah dihitung dengan"rumus"agama, mestinya membuat semua pihak bisa menerima atau legowo, kecuali tentunya mereka-mereka yang lebih dikuasai hawa nafsu.
Sayangnya, aturan yang sudah baku dan mengandung hikmah yang agung ini, masih saja hendak dipreteli oleh pihak pihak tertentu. Pelakunya pun masih itu-itu saja, yakni orang-orang yang acap menyerukan agar syariat Islam perlu ditinjau (baca: direkontruksi) ulang. Bermodal gelar kasihan dari Kanada, AS, atau negara Barat lainnya, mereka yang dielu-elukan oleh media anti Islam sebagai cendekiawan muslim, lancang mengotak atik syariat. Yang memilukan, upaya penggembosan Islam itu bahkan didalangi kalangan akademisi yang berasal dari kampus-kampus "Islam":
Dengan beragam istilah dan redaksi yang terkesan "intelek"; aturan hukum waris dalam Islam pun dituding miring. Hukum waris dianggap mengandung ketidakadilan, utamanya terhadap kaum perempuan. Karena sebagaimana telah diketahui, bagian waris perempuan "hanya" setengah dari laki-laki. Tentu saja sikap ini adalah buah dari menafikan keimanan dan lebih mengedepankan logika.Orang-orang seperti mereka hanya berpikir sesaat dan tidak berwawasan jauh ke depan.
Sudah sepatutnya ketika menyatakan beriman, kita tumbuhkan dalam diri kita keyakinan bahwa syariat Allah tidak diciptakan sebagai kesia-siaan. Namun mengandung banyak hikmah yang semua itu demi kemaslahatan manusia juga. Meski bisa jadi manusia dengan banyak keterbatasannya hanya bisa mengungkap sedikit saja hikmah dari berbagai perkara yang Allah, syariatkan.
Makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang, minum dengan diselaselai nafas, tidur/berbaring dengan menghadap ke kanan, larangan meminum minuman yang sangat panas, buang air dengan berjongkok, khitan, dsb, adalah sedikit perkara dari syariat Islam di mana kemudian tinjauan medis mengakui kebenarannya. Hal-hal yang dahulu dianggap sepele bahkan sebagiannya justru dicibir akhirnya dijadikan pola hidup sehat. Padahal hal-hal ini sudah ada dalam Islam sejak belasan abad silam.
Oleh karena itu, semestinya kita membuang prasangka-prasangka negatif tentang syariat. Mari kita mengenal hukum waris sebagaimana yang telah diajarkan Allah dan Rasul-Nya
Add to Cart More Info